Selasa, 20 Maret 2012

Methamorpose Gank Di Kalangan Remaja


Methamorpose Gank Di Kalangan Remaja
Pendahuluan
Gank di dalam lingkungan remaja
Tren remaja yang terjadi akhir-akhir ini yang cenderung kearah hal yang negatif adalah Remaja dengan pergaulan yang kebablasan yang akhirnya terjebak kedalam arena gankster atau gank. Yakni sekelompok pemuda ataupun pemudi remaja yang liar, bebas tanpa mau terikat dengan aturan yang berlaku. Gankster atau kelompok jalanan adalah fenomena tersendiri yang muncul seiring kompleknya masalah manusia modern. Tidak hanya di kota – kota besar keadaan seperti ini bisa juga di lihat di kota – kota kecil dengan berbagi macam karakter. Hampir di setiap tempat bisa kita temukan salah satunya adalah di lingkungan kampus. Tidak ada satupun kampus yang tidak mempunyai “gank”. Namun tidak semua gank itu buruk ada juga gank yang mengkondisikan diri mereka untuk berbuat kebaikan tentunya hal itu dikarenakan mereka ingin menghilangkan citra buruk dari anggapan – anggapan orang mengenai “gank”. Contoh gambar – gambar  gank sperti di bawah ini :
Gank yang bisa dikatakan tidak baik sperti gambar di bawah ini
                                   

Gank yang bisa dikatakan baik seperti gambar di bawah ini
                                                                
Pembahasan
Penyebab terjadinya gank :
1.      Kesenjangan atau gap yang terjadi antara orang tua dengan anak – anaknya
2.      Kesenjangan social antara si miskin ddengan si kaya
3.      Ketimpangan moral antara kalangan remaja dengan pemerintah
4.      Adanya industrialisme, mekanisme dan modernisasi yang bersifat radikal
5.      Kadar iman yang kian berkurang
Dampak dari gank di kalangan remaja
1.     Hidup yang serba bebas tidak terikat dengan aturan
2.     Pergaulan bebas menuju freeseks
3.     Tindakan criminal
4.     Penggunaan Narkotika
5.     Urak – urakan
Pembahasan mengenai penyebab dan dampak secara detail :

1. Pemberontakkan terhadap orang tua yang tidak memperhatikannya sebagai manusia yang butuh kasih sayang. Orang tua sibuk bekerja siang dan malam dengan membiarkan anak-anak mereka terlantar tanpa kasih sayang. Untuk mencari kasih sayang yang hilang itu lantas mereka berkumpul dengan teman yang senasib, maka terbentuklah gank-gank itu.

2. Akibat ketimpangan kesejahteraan. Antara si kaya dan si miskin telah terjadi gap yang sangat jauh. Yang kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin. Anak-anak yang lahir dari keluarga terbelakang bahkan dibuang oleh orang tuanya sendiri merasakan adanya ketidakadilan. Maka muncullah pemberontakan yang mereka ekspresikan lewat gank-gank ini.

3. Ketimpangan moral yang muncul di masyarakat dan perilaku-perilaku munafiq para pejabat pemerintahan memunculkan sikap benci di kalangan remaja. Pola nepotisme atau mementingkan keluarga dekat didunia kerja telah mengakar dan menjadi kecemburuan radikal dikalangan remaja akhir-akhir ini. Begitu pula di satu sisi mereka dididik terus rajin, disiplin, sopan santun dan tidak boleh ini itu, tapi apa kenyataannya berbagai tayangan media massa sarat dengan kekerasan dan pornografi.

4. Akibat industrialisme, mekanisme, modernisasi yang serba radikal menyebabkan masyarakat banyak yang merasakan siksaan batin, kebisinganm polusi udara dan beban hidup yang menegangkan. Yang mereka inginkan pun kadang hal-hal yang lebih kaya, lebih baru, lebih besar dan lebih berkuasa lagi sebagai akibat persaingan yang ketat dan pola hidup yang konsumeris. Anak-anak yang kalah bersaing berkelompok untuk menyatukan kekuatan maka terbentuklah gank.

5. Faktor yang paling dominan adalah telah memudarnya kesadaran hidup beragama. Pendidikan agama telah banyak ditinggalkan. Madrasah-madrasah dan masjid-masjid sudah kosong dari kegiatan. Sementara para ustadz atau kyai tidak memiliki generasi yang dapat meneruskan jejaknya. Akibatnya, mental anak-anak muda kosong dari hidayah. Maka terbentuklah kelompok kriminal seperti gank-gank ini.

Langkah – langkah yang diambil unutk memperbaikinya (antisipasi dan pencegahannya :

Langkah Rehabilitasi
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan orang-tua ataupun lingkungan untuk bisa melakukan pembenahan rehabilitasi terhadap anak-anak yang telah terjerumus kedalam kenakalan khususnya fenomena gankster,diantaranya:

1. Bagi yang masih memiliki Orang Tua.
Ajaklah anak perlahan-lahan untuk menjauh dari pergaulannya, arahkan anak untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang lebih positif, misalnya olahraga dan kegiatan keagamaan. Tapi yang terpenting adalah Orang tua harus lebih menyempatkan waktu untuk menemani anak-anaknya. Pantaulah terus pergaulan dan perilaku mereka. Sempatkanlah untuk bisa mendengarkan cerita-cerita mereka dan curahan hatinya, jangan langsung menyalahkan anak apabila mereka melakukan kesalahan karena apabila kita kasar dalam mendidik mereka, mereka akan mencari kenyamanan lain dengan bergabung lagi dengan teman-teman yang dulu.

2. Bagi Yang sudah tidak memiliki Orang Tua.
Bagi anak-anak yang sudah kehilangan figur orang tua atau mereka yang memiliki orang tua tapi sudah bercerai, sama seperti diatas luangkanlah waktu untuk mereka ingatlah anak adalah amanah yang harus kita jaga dan akan kita pertanggung jawabkan kelak kepada si pemberi amanah yaitu Allah SWT. Bimbinglah mereka rangkul dan ayomi mereka, karena pada dasarnya mereka hanyalah sekumpulan anak yang membutuhkan kasih sayang dan pengakuan.

3. Bagi Lingkungan.
Lingkungan sangat membawa pengaruh besar terhadap timbulnya permasalahan yang terjadi maka lingkungan juga punya andil besar dalam proses rehabilitasinya. Memang tidak akan mudah semudah membalikkan telapak tangan untuk bisa mengatasi masalah ini tapi sedikitnya ada cara yang bisa ditempuh untuk mengatasi kenakalan mereka diantaranya:
ü Berilah peraturan yang tegas dalam lingkungan khususnya bagi yang mengemban amanah (RT,RW) untuk mereka yang membuat keresahan dan keonaran.
ü Libatkan para pemuka agama untuk mendidik mereka dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian untuk remaja, aktifkan kegiatan-kegiatan keagamaan. Memang susah tapi apabila dilakukan secara konsisten bukan mustahil hasilnya akan mengembirakan.
ü Jangan hindari mereka, ajaklah mereka untuk dapat berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.
ü Membatasi ruang gerak mereka untuk kembali ke komunitas gankster.

4. Bagi Pemerintah atau LSM.
Peran pemerintah ataupun LSM sangat membantu proses rehabilitasi mereka, adapun yang bisa dilakukan antara lain:
ü Menciptakan perkumpulan yang lebih sehat, ajaklah mereka untuk berkumpul bukan untuk membuat keonaran tapi untuk menghasilkan suatu karya misalnya bagi anggota gank motor bisa diarahkan untuk Industri Kecil (bengkel dll)
ü Menciptakan lingkungan dan situasi yang kondusif, beri sangksi yang tegas kepada mereka yang melakukan kesalahan agar menimbulkan efek jera kepada mereka yang belum sempat melakukan kesalahan.
ü Memberikan penghargaan bagi mereka yang sudah bisa memperbaiki diri agar bisa memberi motivasi bagi mereka yang masih berkubang dalam kesalahan.

Keshalihan Orang Tua dan Pengaruhnya Terhadap Anak-anak
Namun dari semua itu, yang paling penting dari orang tua adalah bisa menjadi Uswatun Hasanah ( Contoh teladan yang baik), keteladanan yang baik membawa kesan positif dalam jiwa anak. Orang yang paling diikuti oleh anak adalah orang tuanya. Mereka pulalah yang paling kuat menanamkan pengaruhnya ke dalam jiwa anak, “Maka kedua orang tuanya yang membuatnya menjadi Yahudi,Nasrani,ataupun Majusi.” kata Nabi.
Contohnya :

1.      Genk Nero and Bullying Phenomenon

Oleh :
Nur Fajarudin
(anggota Lajnah Thullab wal Jami’ah, DPD II HTI Sidoarjo dan Ketua Forum Mahasiswa Muslim Sidoarjo)
Kekerasan kembali merebak dan menjadi berita di tanah air. Menghiasi headline-headline media baik cetak maupun elektronik. Negeri yg carut marut akibat salah mengatur semakin menunjukkan kesuraman wajah masa depannya.
Ya, sekali lagi kita disuguhi fenomena kekerasan dan yg lebih menggiriskan kekerasan itu terjadi justru di institusi-institusi pendidikan di Indonesia. Belum kering ingatan meninggalnya praja STPDN akibat dianiaya oleh seniornya, belum dingin kiranya saat kita disuguhi kekerasan yg menimpa siswa-siswi SD akibat meniru adegan pertandingan gulat bebas di televisi. Sekali lagi kita digiring untuk menyaksikan kembali fenomena kekerasan di institusi pendidikan kita.
Adalah sekelompok remaja putri seusia SMP di Pati Jawa Tengah yg membentuk sebuah genk bernama Nero. Mereka menteror, melakukan penganiayaan kepada remaja-remaja putri seusia mereka dengan dalih masalah persaingan entah itu mode atau pernak-pernik yg dibawa (seperti hp, motor, dsb), kemudian (yg paling menakutkan) merekam adegan seram tersebut melalui hp, dan menyebarluaskannya. Dan blaar aksi merekapun sontak menjadi fenomena yg menjadi impuls bagi aksi-aksi serupa tersebut seperti halnya kasus-kasus rekaman adegan porno.
Belum selesai kasus genk Nero kita diajak untuk kembali mengelus dada ketika media menayangkan bagaimana para praja di STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Perhubungan) menjadi korban penganiayaan senior-seniornya. Masih lekang di ingatan kita bagaimana kasus serupa pernah terjadi di lembaga pendidikan kedinasan yg lain (STPDN). Dengan dalih yg sama yaitu agar praja-praja baru tersebut memiliki mental yg tahan “banting” dan tahan “pukul”. Maka kembali lagi pendidikan di Indonesia berputar-putar dalam labirin yg sama, yaitu kekerasan. Kasus tawuran antar pelajar, persaingan antar genk baik putri maupun putra, hingga kasus-kasus antar individu yg tetap mengacu pada satu hal, kekerasan atau bullying.
Bullying sendiri mengacu kepada aksi-aksi kekerasan secara umum. Akan tetapi kasus ini mencuat ketika terjadi kekerasan di sekolah-sekolah di Amerika. Dari sini bullying mendapat terma tersendiri sehingga maknanya mengacu secara khusus kepada aksi-aksi kekerasan di institusi-institusi pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Aksi-aksi tersebut meliputi kekerasan dalam arti yg sebenarnya seperti pemukulan, penganiayaan, hingga kasus-kasus berat seperti pembunuhan dan penembakan dengan senjata berat (yg jamak di Amerika). Bullying juga meliputi kekerasan dalam bentuk verbal seperti hinaan, cacian, hingga pengucilan dari pergaulan. Model kekerasan seperti ini justru yg memberikan daftar korban terbesar karena efek yg diakibatkan adalah efek psikologis yg sulit untuk diobati. Biasanya kekerasan model verbal mengakibatkan depresi, stress, hingga gila pada korbannya, dan tidak menutup kemungkinan menjadi salah satu penyumbang terbesar “pasien” bunuh diri.
Kapitalisme Biang Keroknya
Mengapa kasus-kasus kekerasan tetap merebak di sekolah-sekolah? Padahal kasus tersebut telah lama menjangkiti dan kampanye untuk meredam kasus tersebut telah lama digulirkan? Jangan-jangan buah dari diterapkannya teori Darwin “dimana yg kuat harus mengalahkan yg lemah” yg hingga hari ini masih diajarkan di sekolah-sekolah? Mungkin ini yg menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat, bahkan mereka berani mengeluarkan analisis jangan-jangan ini praktek lapangan dari teori yg pernah disampaikan mbah Darwin yg kemarin diajarkan di kelas.
Kesenjangan sosial dan gaya hidup serba bebas dianggap sebagian kalangan sebagai penyebab merebaknya kasus bullying. Gaya hidup yg bersandar pada materi menyebabkan terjadinya tipologi masyarakat yg hanya mementingkan materi dan kebendaan. Sistem persahabatan pun bergeser dari yg bersandar kepada iman dan ilmu menjadi bersandar pada nilai-nilai kepentingan dan gaya hidup atau tren. Maka muncullah genk-genk, kelompok-kelompok hobi, hingga gaya hidup semacam cosplay, harajuku style, hingga punk. Konsekuensi logis dari fenomena tersebut adalah munculnya gap atau jurang bagi mereka yg tidak mampu atau tidak kuat mengikuti arus. Dari fenomena tersebut lahirlah generasi yg mudah putus asa, menghalalkan segala cara, depresi, hingga fenomena tingginya kasus bunuh diri.
Gaya hidup serba bebas juga memunculkan generasi yg liberal, hedonis, dan permisiv. Gaya hidup bebas juga menyebabkan penghalalan segala cara. Mereka yg terpental dari pergaulan mengeluarkan segala daya upaya agar tetap diakui eksistensinya. Maka muncullah grey chicken, tawuran, narkoba, hingga terjerumus kepada pergaulan bebas dan aborsi. Kasus depresi dan putus asa menyebabkan remaja menjadi tidak terkontrol dan labil emosinya. Mereka menjadi cenderung beringas dan mudah curiga terhadap orang di sekitarnya.
Dan penyebab itu semua tak lain dan tak bukan adalah Kapitalisme. Dimana dalam Kapitalisme, paham kebebasan dijunjung tinggi, manusia tidak boleh mencampuri urusan manusia lain, hubungan antara manusia hanya boleh diatur oleh asas manfaat, dan sekulerisme atau pemisahan nilai-nilai agama dalam segala area kehidupan adalah aqidah utamanya. Maka tak salah apabila telunjuk kita mengarah kepada Kapitalisme sebagai biang keroknya.
2. Para anggota gank atau lebih dikenal dengan gankster ini kerapkali menunjukkan sikap ingin diakuinya sebagai bagian dari komunitas masyarakat modern yaitu dengan tawuran, corat-coret dan konfoi motor. Tak jarang aksinya itu disertai tindak kejahatan seperti penganiayaan bahkan pembunuhan. Jelasnya munculnya gank-gank ini adalah bagian dari mode jahiliyah modern.

Di yakini bahwa sesungguhnya menjadi kelompok sebuah perkumpulan yang sama sekali tidak mendapat pengakuan masyarakat ini, bukan menjadi tujuan hidup para gankster (anggota kelompok gank).

Terjerumusnya mereka ke lembah gankster adalah karena kesepian mereka akan sebuah harapan yang mereka sendiri tidak mampu menerjemahkan kedalam bahasa mereka. Nurani mereka mengatakan bahwa sesungguhnya mereka salah dalam melangkah. Tetapi untuk bertaubat dan kembali kejalan yang benar mereka tidak tahu cara dan jalannya. Sehingga semakin berkubanglah mereka didalamnya dalam jamgka waktu yang berkepanjangan.

Pemberian Tuhan berupa akal tak mampu mereka pergunakan lagi dengan baik, karena tertutupi dahsyatnya propaganda setan yang selalu menari riang gembira melihat kejahatan yang mereka lakukan. Akhirnya apa yang mereka kerjakan selalu bertentangan dengan hati nurani yang paling dalam.

Disisi para gankster ada kelompok yang menamakan dirinya “Club Punk”. Kelompok ini muncul pertama kali pada tahun 1975. Punk sendiri adalah bahasa slank untuk menyebut penjahat atau perusak. Sama seperti para pendahulunya, kaum punk ini juga menyatakan dirinya lewat dandanan pakaian, dan rambut yang berbeda. Orang-orang punk menyatakan dirinya sebagai golongan yang anti fashion, dengan semangat dan etos kerja yang bermoto “semuanya dikerjakan sendiri” atau dalam bahasa kerennya adalah do it your self yang tinggi.

Punk adalah kelompok remaja radikal yang menentang berbagai bentuk kemapanan. Mereka menolak agama, norma masyarakat, moral dan aturan negara. “selama masih ada agama, moral dan negara maka punk pasti ada” demikian pendapat mereka ketika wawancara di station televisi. Hidup bebas tanpa aturan adalah kehidupan yang didambakan. Hal ini terlihat dari cara mereka berpakaian yang anti pakaian mapan. Dandanan yang tidak karuan seperti itu bagi mereka adalah sebuah kemajuan.

Punk hakikatnya kelompok anti moral yang berbahaya. Mereka dapat berbuat apa saja termasuk membunuh sesamanya. Bagi mereka kehidupan sejati adalah kehidupan tanpa batas-batas aturan walaupun harus merugikan orang lain. Mereka tak ubahnya seperti binatang yang hidup semau gue. Walaupun mereka hidup mandiri, namun kenyataannya tak ada anggota punk yang hidup mapan dari segi materi. Mereka hidup seperti gelandangan, meskipun mereka amat marah jika disebut seperti itu. Mereka ingin mendapat pengakuan, tetapi tidak mau mengakui keberadaan orang lain. Mereka minta dihargai, tetapi tidak mau menghargai orang lain. Bagi mereka orang lain tidak ada harganya sama sekali bahkan nyawanya.

Kelompok punk kini bermunculan di kota-kota besar. Mereka terkonsentrasi dalam kelompok-kelompok atau gank-gank yang umumnya berkantor di terminal atau alun-alun.

Para gankster dan punk ini merupakan saudara kandung yang sama-sama berlabel ”korak” tetapi ingin dipandang dan dianggap sebagai raja. Berapa banyak remaja yang sudah terjebak kedalam gankster atau punk..?...bahkan beberapa diantara mereka ada yang menjadi raja copet bahkan ada juga yang akhirnya menjadi sindikat penculikan anak-anak yang akhirnya dipekerjakan sebagai peminta-minta dan anak jalanan,

Jika ingin menyelamatkan mereka, harus ada pihak-pihak terkait yang menolongnya, mengentaskan mereka dari keterpurukan akhlak. Disini peran utama orang-tua sangatlah penting. Mereka hendaknya membentengi putra-putri dengan pondasi moral yang kokoh agar tidak terjerumus dalam kelompok berbahaya ini.

Langkah Pencegahan
Proses peran orang tua memang harus dilakukan semenjak awal untuk mwncegah ataupun meminimalir pengaruh tersebut, Misalnya saja dengan jalan :

Orang tua harus memberikan pendidikan agama semenjak dini, baik dirumah maupun diluar rumah dengan memasukkan mereka ke lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu keagamaan dengan mumpuni. Tidak harus bonafid. Yang terpenting adalah sekolah tersebut mempunyai tujuan yang jelas kaitannya dengan dunia pendidikan agama.

Orang tua wajib mencarikan tempat tinggal dengan lingkungan yang baik. Minimal cari rumah yang berdekatan dengan masjid, agar anak-anak terbiasa mendengarkan adzan sebagai panggilan sholat. Suara adzan bisa membuat hati menjadi lembut dan menelusupkan aura keimanan dalam hati anak manusia.

Mengawasi pergaulan anak-anaknya, terutama yang berusia remaja. Karena masa remaja merupakan masa transisi, dimana masa anak-anak yang sudah habis akan beralih menuju ke gerbang kedewasaan. Nah, ditengah-tengah antara masa anak-anak dan masa dewasa itu, ada masa transisi dimana orang menyebutnya dengan masa remaja atau masa tanggung.

Seorang anak dalam masa yang serba tanggung ini, jiwanya senantiasa penuh gejolak yang sering disebut dengan “gejolak kawula muda”. Dalam masa yang penuh gejolak ini remaja wajib diarahkan ke pergaulan yang benar, untuk anak laki-laki jangan sedikitpun memberikan kelonggaran untuk menghisap rokok karena dari rokok merupakan pintu gerbang menuju ke minuman keras dan obat-obatan terlarang. Dan pengawasan ini tidak akan berjalan dengan lancar dan mendapatkan hasil yang memuaskan jika orang tua enggan untuk terlibat didalamnya. Justru peran orang tualah yang sangat vital dalam hal ini. Yang perlu diingat bahwa mengarahkan tidak sama dengan pengekangan apalagi kediktatoran, berilah pengertian kepada mereka dengan cara-cara yang tidak terkesan mengurui, jadikan mereka sebagai teman sharing kita agar nasehat yang kita berikan dapat dengan mudah mereka terima dan pahami.

Sebab jika melihat kasus remaja yang terjerumus kedalam arena gankster maupun punk, disinyalir adalah anak-anak yang mengalami brooken home. Terlalu sibuknya orang tua dalam mencari harta benda keduniaan, menjadikan mereka mengumbar anak-anaknya. Anaknya hanya di kasih makan dan uang, ketika uang sudah menjadi ukuran, maka moral tak lagi diperhatikan. Maka lahirlah remaja-remaja yang terjerumus kedalam arena gankster dan punk.

Masih banyak lagi sebenarnya peran orang tua untuk membentengi anak-anaknya agar terhindar dari segala macam bentuk kejahatan dan kemaksiatan.
Referensi :
Menyimak Pergeseran Budaya dikalangan Remaja dan Prilaku Hedonisme dikalangan Remaja

Kalau Anda berkenan untuk sejenak berhenti dari kesibukan membuat tugas kuliah atau diskusi tentang mata kuliah, baik kalau kita menjadi lebih kritis untuk mengamati kecenderungan perilaku kaum muda remaja dewasa ini yang tentunya menarik untuk dipikirkan bersama.

Semakin pesatnya tren kapitalisme dan konglomerasi elite tertentu maka pertumbuhan kwantitatif tempat-tempat hiburan dan pusat-pusat perbelanjaan semakin berkembang bak jamur dimusim hujan. Fenomena tersebut secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi budaya dan pola hidup kaum muda remaja sekarang. Pergeseran budaya mulai menjangkiti kaum muda remaja tanpa kompromi dan eksodus besar-besaran tentang paradigma berpikir kaum muda remaja, dari budaya timur menuju budaya barat. Anda dapat melihat kaum muda remaja hedonis bersliweran dengan berbagai mode rambut dengan busana thank top atau junkies, dan alat-alat digital lainnya. Iklim masyarakat sekarang jauh berbeda dengan masyarakat tempo dulu. Namun, bila gejala ini kita telaah lebih lanjut bahwa kaum muda remaja telah jatuh kedalam euforia budaya pop. Selanjutnya kaum muda remaja yang seharusnya menjadi homo significans malahan jatuh kedalam pendangkalan nilai hidup.

Tulisan ini hanya mengajak para pembaca untuk merenungi dampak globalisasi tanpa harus terjerat ke dalam arus pendangkalan hidup post-modernisasi dan bagaimana hal tersebut tidak menggerogoti nilai-nilai positif yang menjadi warisan budaya kita.


Euforia Budaya Pop Remaja : Buah Globalisasi

Manusia harus berubah. Itulah hal yang mendasar yang perlu dipikirkan secara bersama. Memang benar bahwasannya manusia dengan segala budaya dan akal budinya harus dikembangkan seoptimal mungkin, karena akan semakin mengkokohkan kedudukannya dimuka bumi sebagai God Creature yang sempurna dibandingkan dengan ciptaan lainnya.

Kali ini, manusia beralih menuju rentang waktu yang kontradiksional dengan fase-fase sebelumnya, yaitu fase globalisasi. Di satu sisi manusia memang dituntut untuk berkembang menuju kearah yang lebih modern, baik aspek teknologi, hukum, sosial/kesejahteraan sosial, politik, demokrasi, dan semua sistem lainnya harus disempurnakan. Teknologi bidang informatika, kedokteran, bioteknologi, dan transportasi mengalami perkembangan yang begitu dahsyat mengatasi batas-batas ruang dan waktu.
Namun, tidak boleh dilupakan bahwa hasil perkembangan manusia bersifat relatif dan ambivalen. Pengaruh negatif dari globalisasi adalah euforia budaya pop, perdagangan bebas, marginalisasi kaum lemah, dan timbulnya gap relation antaara si kaya dan si miskin. Hasil tersebut telah membentuk suatu budaya baru bagi masyarakat, khususnya kaum muda remaja menjadi manusia yang terjebak dalam arus budaya pop.

Penghayatan Hidup dikalanagan Remaja yang Semakin Mendangkal

Ilustrasi di awal tulisan ini hanyalah sekelumit deskrispsi yang membuktikan eksistensi kecenderungan dalam diri manusia modern. Masih banyak contoh-contoh lain sebagai hasil dari globalisasi. kaum muda remaja dewasa ini lebih suka membaca komik atau main game daripada harus membaca buku-buku bermutu. Bacaan dengan analisis mendalam dan novel-novel bermutu hanya menjadi bagian kecil dari skala prioritas mereka, bahan-bahan bacaan seperti itu hanya tersentuh jika terpaksa atau karena tuntutan akademis.

Anda dapat mengelak bahwa gejala-gejala ini merupakan bentuk adaptif dari kemajuan zaman. Tapi, itu adalah rasionalisasi. Sebenarnya, kecenderungan manusia sekarang bukan hanya sekedar masalah mengikuti perkembangan zaman melainkan hal ini adalah masalah gengsi dan penghayatan hidup.

Bukti yang paling mengena adalah televisi, berbagai acara televisi semakin hari semakin jauh dari idealisme jurnalistik, bahkan semakin melegalkan budaya kekerasan, instanisasi, dan bentuk-bentuk kriminalitas. Sebagian tayangan-tayangan tersebut hanya semakin mendangkalkan sifat afektif manusia. Tayangan mengenai bencana alam, kemiskinan, perang, kelaparan, penemuan teknologi, pembelajaran budaya, dan lain sebagainya telah membuat sisi afeksi manusia tidak peka terhadap hal tersebut. Tidak ada proses batin dan intelektual lebih lanjut. Penghayatan nilai-nilai luhur semakin tereduksi.

Eksistensi kaum muda remaja hanya ditempatkan pada pengakuan-pengakuan sementara, misalnya seorang remaja dianggap eksistensinya ada jika remaja tersebut masuk menjadi anggota geng motor, menggunakan baju-baju bermerk, menggunakan blueberry, dugem, clubbing, melakukan freesex, ngedrugs, dan lain sebagainya. Eksistensi kaum muda remaja hanya dihargai sebatas kepemilikan dan status semata. Jika pendangkalan ini terus dipelihara dan dibudidayakan dikalangan remaja kita, makna dan penghargaan terhadap insan manusia semakin jauh. Hasilnya adalah menghilangnya penghargaan terhadap manusia lainnya, misalnya: perang, pemerkosaan, komersialisasi organ tubuh, trafficking, tawuran, dll. Contoh-contoh ini menjadi indikasi kehancuran sebuah kebudayaan yang dimulai dari pergeseran nilai-nilai budaya di kalangan kaum muda remaja kita. Dampak yang sangat menyedihkan dan mengkhawatirkan!

Solusi : Internalisasi

Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa manusia sebagai homo significans, pada hakikatnya menjadikan manusia sebagai manusia pemberi makna. Jurus paling ampuh untuk mengatasi pendangkalan hidup post-modernisasi adalah pengendapan atau internalisasi. Internalisasi merupakan proses memaknai kembali makna-makna hidup. Makna hidup yang tadinya dihargai secara dangkal, kali ini digali dan diselami.

Ada dua metode internalisasi yang ditawarkan, yaitu budaya refleksi dan keheningan. Keduanya saling komplementer dan tidak dapat dipisahkan jika hendak melawan arus budaya pop. Refleksi membutuhkan suasana hening. Keheningan jiwa dapat tercapai saat berefleksi. Secara etimologis, refleksi berasal dari verbum compositum bahasa Latin re-flectere, artinya antara lain, memutar balik, memalingkan, mengembalikan, memantulkan, dan memikirkan. Kiranya, dua arti terakhir yang cocok untuk mendefinisikan refleksi dalam kerangka permenungan ini. Refleksi adalah usaha untuk melihat kembali sesuatu secara mendalam dengan menggunakan pikiran dan afeksi hingga dapat menemukan nilai yang mulia yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bekal hidup. Euforia budaya pop di masa globalisasi menawarkan begitu banyak hal yang hanya berakhir menjadi kesan-kesan tanpa satupun yang dapat dialami. Dengan budaya refleksi, kesan-kesan tersebut dapat diendapkan. Secara satu persatu pengalaman negatif maupun positif dapat dianalisis, dipertimbangkan, disimpulkan, dan akhirnya diendapkan dalam nurani. Proses inilah yang membuat kaum muda remaja dapat menyadari baik dan buruknya suatu sikap. Dalam proses ini juga kaum muda remaja diajak untuk menindaklanjuti berbagai pengalaman yang didapat, sehingga muncul nilai-nilai dari setiap kejadian yang dialami, dan tentunya nilai tersebut dapat menjadi bekal hidup selanjutnya.

Peran refleksi dalam kerangka ini juga sebagai nabi, untuk mengingatkan segala larangan ataupun perintah Tuhan yang diajarkan. Refleksi berperan menjadi fungsi kritis dalam diri kaum muda remaja. Saat ia mengalami pendangkalan nilai-nilai hidup dalam bentuk pragmatisme, konformitas buta dan sebagainya. Refleksi menunjukkan kesalahannya, dan mengarahkan kepada yang benar.

Oleh karena itu kita sebagai kaum muda remaja harus mampu merubah diri kita menjadi manusia yang bermakna bagi orang lain melalui sikap dan perilaku sehari-hari. Usaha ini hanya bisa tercapai melalui usaha pribadi bukan orang lain, ada pepatah mengatakan jangan mengubah orang lain sebelum bisa mengubah diri sendiri. Selamat berefleksi wahai para remaja ... !




Kesimpulan
Gank ada di zaman seperti ini di ibaratkan seperti methamorphose kehidupan kupu – kupu
Description: E:\Picture_Mith@\Album Campur\images.jpeg3.jpeg
Seperti itulah gank yang dimulai dari rumah (keluarga) > lingkungan sekitar (tetangga) > lingkungan sekolah (teman) > lingkuangn kampus  (teman) > kantoran (teman & relasi). Sangat tidak baik tentunya untuk siapa pun. Hal ini lah yang menjadi tanggung jawab bagi orang tua supaya lebih memperhatikan anak – anaknya yang akan beranjak dari anak – anak > remaja > dewasa. Dan hal yang sangat fatal penyebab adanya gank adalah kadar  iman yang ada pada tiap individu masing – masing berkurang secara drastic. Secara sosiologi hal ini tentunya membuat gap antara masyarakat yang ada dengan para gank tersebut. Dan secara psikologi memunculkan persepsi atau paradigm masyarakat yang salah mengenai gap atau gank tersebut. Oleh karena itu tidak hanya peran dari orang tua dan guru saja untuk menghentikan hal ini karena peran yang terpenting adalah dari diri sendiri yang mau untuk berubah dari yang buruk menjadi yang baik karena tidak ada yang tidak bisa untuk di hentikan atau di perbaiki jika tidak ada niat yang kuat dari diri mereka sendiri.

Learning Theory (tugas psikologi umum 1, semester 1)

LEARNING
Pengertian Learning
Pengertian belajar secara umum dapat diartikan sebagai perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat. (wikipedia)
Menurut Wade & Carol dalam bukunya yang berjudul Psikologi, belajar merupakan sebuah perubahan yang relatif menetap dalam perilaku (atau berpotensi menjadi perilaku) sebagai akibat dari pengalaman.
Menurut Thorndike, learning adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni: (1) hukum efek (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
Menurut Skinner, belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang harus dapat diukur. Bila pembelajar (peserta didik) berhasil belajar, maka respon bertambah, tetapi bila tidak belajar banyaknya respon berkurang, sehingga secara formal hasil belajar harus bisa diamati dan diukur.
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
  1. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
  2. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Teori utama Thorndike :
a.                Fenomena belajar :
• Trial and error learning & Transfer of Learning
            Trial and error learning merupakan proses belajar dimana proses belajar seseorang berawal dari mencoba-coba dan melakukan kesalahan. Thorndike melakukan eksperimen untuk menjelaskan proses trial and error learning ini kepada sesekor kucing. kucing yang masih muda dengan kebiasaan-kebiasaan yang masih belum kaku, dibiarkan lapar; kemudian dimasukkan ke dalam kurungan yang disebut ”problem box”. Dimana konstruksi pintu kurungan tersebut dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu pintu kurungan akan terbuka dan kucing dapat keluar dan mencapai makanan (daging) yang ditempatkan diluar kurungan itu sebagai hadiah atau daya penarik bagi si kucing yang lapar itu. Pada usaha (trial) yang pertama, kucing itu melakukan bermacam-macam gerakan yang kurang relevan bagi pemecahan problemnya, seperti mencakar, menubruk dan sebagainya, sampai kemudian menyentuh tombol dan pintu terbuka. Namun waktu yang dibutuhkan dalam usaha yang pertama ini adalah lama. Percobaan yang sama seperti itu dilakukan secara berulang-ulang; pada usaha-usaha (trial) berikutnya dan ternyata waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan problem itu makin singkat. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari kurungan tersebut, tetapi dia belajar mempertahankan respon-respon yang benar dan menghilangkan atau meninggalkan respon-respon yang salah. Dengan demikian diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha–usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.

b.                   Hukum-hukum belajar :
• Law of Readiness : adanya kematangan fisiologis untuk proses belajar tertentu, misalnya kesiapan belajar membaca. (Isi teori ini sangat berorientasi pada fisiologis).
• Law of Exercise : jumlah exercise (yang dapat berupa penggunaan atau praktek) dapat memperkuat ikatan S-R. Contoh : mengulang, menghafal, dan lain sebagainya. Belakangan teori ini dilengkapi dengan adanya unsur effect belajar sehingga hanya pengulangan semata tidak lagi berpengaruh.
• Law of Effect : menguat atau melemahnya sebuah connection dapat dipengaruhi oleh konsekuensi dari connection tersebut. Konsekuensi positif akan menguatkan connection, sementara konsekuensi negatif akan melemahkannya. Belakangan teori ini disempurnakan dengan menambahkan bahwa konsekuensi negatif tidak selalu melemahkan connections. Pemikiran Thorndike tentang. Konsekuensi ini menjadi sumbangan penting bagi aliran behaviorisme karena ia memperkenalkan konsep reinforcement. Kelak konsep ini menjadi dasar teori para tokoh behaviorisme seperti Watson, Skinner, dan lain-lain.

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
Menurut Gagne belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang diperlukan untuk mengembangkan proses yang logis, sehingga perkembangan tingkah laku (behavior) adalah hasil dari efek belajar yang komulatif (gagne, 1968). Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa belajar itu bukan proses tunggal. Belajar menurut Gagne tidak dapat didefinisikan dengan mudah, karena belajar bersifat kompleks.
Gagne (1972) mendefinisikan belajar adalah : mekanisme dimana seseorang menjadi anggota masyarakat yang berfungsi secara kompleks. Kompetensi itu meliputi, skill, pengetahuan, attitude (perilaku), dan nilai-nilai yang diperlukan oleh manusia, sehingga belajar adalah hasil dalam berbagai macam tingkah laku yang selanjutnya disebut kapasitas atau outcome. Kemampuan-kemampuan tersebut diperoleh pembelajar (peserta didik) dari :
1. Stimulus dan lingkungan
2. Proses kognitif menurut Gagne belajar dapat dikategorikan sebagai berikut :
1). Verbal information (informasi verbal)
2). Intellectual Skill (skil Intelektual)
3). Attitude (perilaku)
4). Cognitive strategi (strategi kognitif)
Belajar informasi verbal merupakan kemampuan yang dinyatakan, seperti membuat label, menyusun fakta-fakta, dan menjelaskan. Kemampuan / unjuk kerja dari hasil belajar, seperti membuat pernyataan, penyusunan frase, atau melaporkan informasi. Kemampuan skil intelektual adalah kemampuan pembelajar yang dapat menunjukkan kompetensinya sebagai anggota masyarakat seperti; menganalisa berita-berita. Membuat keseimbangan keuangan, menggunakan bahasa untuk mengungkapkan konsep, menggunakan rumus-rumus matematika. Dengan kata lain ia tahu “Knowing how” Attitude (perilaku) merupakan kemampuan yang mempengaruhi pilihan pembelajar (peserta didik) untuk melakukan suatu tindakan. Belajar mealui model ini diperoleh melalui pemodelan atau orang yang ditokohkan, atau orang yang diidolakan. Strategi kognitif adalah kemampuan yang mengontrol manajemen belajar si pembelajar mengingat dan berpikir. Cara yang terbaik untuk mengembangkan kemampuan tersebut adalah dengan melatih pembelajar memecahkan masalah, penelitian dan menerapkan teori-teori untuk memecahkan masalah ril dilapangan. Melalui pendidikan formal diharapkan pembelajar menjadi “self learner” dan “independent tinker”.


Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Classical conditioning adalah suatu bentuk pembelajaran asosiatif yang pertama kali ditunjukkan oleh Ivan Pavlov. Prosedur yang khas untuk membujuk pengkondisian klasik melibatkan presentasi stimulus yang netral stimulus bersama dengan beberapa makna. Stimulus yang netral bisa setiap peristiwa yang tidak menghasilkan respon perilaku yang nyata dari organisme yang diteliti. Pavlov ini disebut sebagai stimulus yang dikondisikan (CS). Sebaliknya, presentasi yang signifikan tentu membangkitkan rangsangan bawaan, sering refleksif, respons. Pavlov menyebutnya stimulus yang terkondisikan (AS) dan respon terkondisikan (UR), masing-masing. Jika CS dan Amerika Serikat berulang kali dipasangkan, akhirnya dua rangsangan menjadi berhubungan dan organisme mulai menghasilkan respons perilaku ke CS. Pavlov menyebut respons yang terkondisi (CR).
Wade & Carol dalam bukunya yang berjudul Psikologi edisi kesembilan mendefinisikan mengenai Kondisioning klasik yang merupakan proses di mana stimulus yang semula netral memperoleh kemampuan untuk menghasilkan sebuah respons melalui asosiasi dengan stimulus yang telah menghasilkan respons yang mirip atau berhubungan.

Eksperimen Anjing Pavlov
Pada gambar diatas dapat dijelaskan bahwa eksperimen tentang refleks berkondisi yang dilakukan oleh Pavlov yaitu dengan menggunakan seekor anjing sebagai binatang percobaan. Anjing itu diikat dan dioperasi rahangnya sedemikian rupa, sehingga tiap-tiap air liur yang keluar dapat ditampung dan diukur jumlahnya. Pavlov kemudian menekan sebuah tombol dan keluarlah semangkuk makanan di hadapan anjing percobaan. Pavlov semula membuat dugaan-dugaan mengenai apa yang dipikirkan oleh anjing-anjing tersebut dan apa yang mereka rasakan, yang membuat mereka berliur, sebelum makanan disajikan. Apakah anjing tersebut berpikir seperti “Ya, ini saatnya makan” dalam pikiran mereka? Tetapi kemudian, dia mengambil keputusan bahwa mencoba menjelaskan kemampuan mental dari anjing-anjing ini tidak akan ada gunanya. Sebaliknya, ia memusatkan perhatian pada upaya untuk menganalisis lingkungan dimana terjadi respon berupa refleks yang terkondisi ini.
Refleks mengeluarkan liur yang sebenarnya, menurut Pavlov, terdiri dari sebuah stimulus tidak terkondisi (unconditioned stimulus), berupa makanan, dan sebuah proses respon yang tidak terkondisi (unconditioned respon), yaitu produksi liur. Yang dimaksud dengan stimulus tidak terkondisi, menurut Pavlov, adalah sebuah kejadian atau satu hal yang menghasilkan sebuah respon secara otomatis atau menghasilkan refleks yang alami. Sedangkan respon tidak terkondisi adalah respon yang dihasilkan secara otomatis tadi.
Menurut Pavlov, proses pembelajaran terjadi ketika sebuah stimulus netral (stimulus yang tidak atau belum menghasilkan sebuah respon tertentu, seperti berliur) dipasangkan secara teratur dalam sebuah stimulus tidak terkondisi selama beberapa kali.
Stimulus netral ini kemudian akan berubah menjadi stimulus yang terkondisi (conditioned stimulus), yang menghasilkan sebuah proses pembelajaran atau respon terkondisi (conditioned respon) yang biasanya serupa dengan respons alamiah yang tidak perlu dipelajari. Dalam labolatoriumnya, terlihat piring makan anjing, yang sebelumnya tidak menghasilkan liur pada anjing, menjadi sebuah stimulus terkondisi yang menghasilkan respon produksi.
Prosedur ini, dimana sebuah stimulus netral menjadi sebuah stimulus yang terkondisi disebut sebagai konditioning klasik, atau disebut juga sebagai konditioning Pavlov atau konditioning responden. Pavlov dan mahasiswanya kemudian melanjutkan penelitiannya dan menunjukkan bahwa hal dapat menjadi stimulus terkondisi yang menghasilkan liur bila stimulus netral ini dipasangkan dengan makanan : bunyi detak metronum, nada musikal dari garpu tala, sentuhan di kaki, sebuah segitiga yang dibuat dari kartu yang besar, bahkan sebuah jarum ataupun kejutan listrik. Dan semenjak era Pavlov, banyak dari respons otomatis atau yang sifatnya bekerja diluar kehendak kita, selain sekresi air liur, dipelajari dengan metode konditioning klasik – misalnya detak jantung, tekanan darah, gerak reflek, berkedip, dan kontraksi otot. Jarak waktu yang optimal anatara penyajian stimulus netral dan penyajian dari stimulus yang tidak terkondisi tergantung dari jenis respons yang akan dihasilkan ; dalam labolatorium, jeda atau jarak waktunya sering kali kurang dari hitungan detik.
Percobaan selanjutnya Pavlov membunyikan sebuah bel setiap kali ia hendak mengeluarkan makanan. Dengan demikian anjing akan mendengar bel dahulu sebelum ia melihat makanan muncul di depannya. Percobaan ini dilakukan berkali-kali daan dan selama itu keluarnya air liur diamati terus. Mula-mula air liur hanya keluar setelah anjing melihat makanan (refleks tak terkondisi), tetapi lama-kelamaan air liur air liur itu sudah keluar pada waktu anjing baru mendengar bel. Keluarnya air liur setelah anjing mendengar bel disebut sebagai refleks terkondisi, karena refleks itu merupakan hasil latihan yang terus-menerus dan hanya anjing yang sudah mendapat latihan itu saja yang dapat melakukannya. Bunyi bel jadinya adalah rangsangan berkondisi. Kalau latihan ini diteruskan, maka pada suatu waktu keluarnya air liur setelah anjing mendengar suara bel akan tetap terjadu walaupun tidak aada lagi makanan yang mengikuti bunyi bel itu.
Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sev=benarnya tidak lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah adanya proses kondisioning diamana refleks yang tadinya dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak terkondisi lama-kelamaan dihubungkan dengan rangsang terkondisi.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
  1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
  2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
Prinsip Classical Conditioning
ž Extinction : Melemahnya, dan pada akhirnya menghilangnya, respons yang telah dipelajari ; dalam kondisioning klasi ini terjadi ketika stimulus terkondisi tidak lagi dipasangkan dengan stimulus tidak terkondisi. Respon yang terkondisi tidak selalu bertahan selamanya. Bila, setelah kondisioning terbebtuk, stimulus terkondisi terus menerus disajikan tanpa stimulus tidak terkondisi respons yang terkondisi akan menghilang, dan terjadilah extinction. Seandainya anjing dilatih untuk menghasilkan liur setiap kali mendengar bunyi bel, tetapi kemudian bel tersebut dibunyikan setiap lima menit dan tidak menyertakannya dengan makanan, anjing akan menghasilkan liur lebih sedikit dan kemudian akan berhenti menghasilkan liur sama sekali ketika bel tersebut berbunyi ; atau dikatakan proses menghasilkan liur telah lenyap atau hilang.
ž Spontaneous recovery : tampil kembalinya respons-respons yang telah dipelajari setelah tampak hilang atau mengalami extinction. Contoh : bila bel dibunyikan kembali di hari berikutnya, anjing mungkin akan mengahsilkan liur selama beberapa kali dan hal ini menjelaskan mengapa menghilangkan respons-respons terkondisi sepenuhnya biasanya membutuhkan lebih dari satu sesi extinction.
ž Kondisioning tingkat  tinggi : merupakan sebuah prosedur dimana stimulus netral menjadi stimulus terkondisi yang telah lebih dahulu terbentuk. Contoh : misalnya anjing telah belajar untuk menghasilkan liur setiap kali melihat piring makanannya. Sekarang saya akan menyalakan sebuah lampu sebelum piring makanan tersebut disajikan. Dengan pemasangan berulang kali antara lampu dan piring makanan, anjing dapat mempelajari respons untuk mengeluarkan liur ketika melihat lampu. Jika pada manusia contohny adalah ketika kata-kata dipasangkan dngan objek-objek atau kata lainnya yang telah menghasilkan respon-respon emosional  pada diri kita. Contohnya  seorang anak dapat mempelajari respons positif terhadap ulang tahun karena adanya asosiasi dengan hadih ulang tahun maupun perhatian yang diberikan.
ž Generalisasi Stimulus : terjadi ketika stimulus yang menyerupai stimulus terkondisi menghasilkan respons terkondisi. Contoh: ketika anjing dikondisikan untuk berliur ketika mendengarkan nada C pada sebuah piano, anjing bisa saja berliur pada nada D, yang satu nada lebih tinggi dibandingkan C, bahkan ketika Anda tidak memasangkan nada D dengan makanan.
ž Diskriminasi stimulus : terjadi ketika stimulus yang serupa dengan stimulus terkondisi gagal memicu respon terkondisi. contoh : Anjing telah dikondisikan mengeluarkan liur pada nada C pada sebuah piano dengan cara berulang kali memasangkannya dengan makanan. Kemudian Anda memainkan sebuah nada C pada gitar, tanpa diikuti oleh makanan (tetapi Anda terus menyajikan nada C pada piano dengan makanan). Maka hasilnya anjing akan belajar untuk menghasilkan liur pada nada C piano dan tidak berliur pada nada yang sama yang dimainkan pada sebuah gitar. Artinya anjing dapat ,membedakan kedua bunyi tersebut.
Classical Conditioning dalam Kehidupan Nyata
ž Classical conditioning dapat membantu kita menjelaskan respons-respons emosional yang positif terhadap benda-benda atau kejadian tertentu, rasa takut dan fobia, pengembangan rasa suka. John watson menunjukkan bagaimana rasa takut dapat dipelajari dan kemudian dapat dihilangkan dengan menggunakan proses yang disebut sebagai kontrakondisioning.

Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Teori operant conditioning dimulai pada tahun 1930-an. Burhus Fredik Skinner selama periode teori stimulus (S)- Respons ( R) untuk menyempurnakan teorinya Ivan Pavlov yang disebut “Classical Conditioning”. Skinner setuju dengan konsepnya John Watson bahwa psikologi akan diterima sebagai sain (science) bila studi tingkah laku (behavior) tersebut dapat diukur, seperti ilmu fisika, teknik, dan sebagainya.
Operant conditioning merupakan proses di mana sebuah respons semakin mungkin terjadi atau semakin jarang terjadi, tergantung pada konsekuensinya. (Wade & Carol dalam buku Psikologi).
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
Konsekuensi Perilaku
ž Sebuah konsekuensi netral tidak akan meningkatkan ataupun menurunkan kemungkinan terjadinya perilaku di masa yang akan datang. bila pegangan pintu mengeluarkan bunyi setiap kali kita membuka atau menutup pintu, tetapi kita mengabaikan bunyi tersebut dan hal tersebut tidak berpengaruh pada kemungkinan kita untuk membuka pintu di masa datang, bunyi yang dihasilkan dianggap sebagai konsekuensi yang netral.
ž Reinforcement memperkuat atau meningkatkan kemungkinan terjadinya respons di masa yang akan datang. reinforcement dapat dikatakan sama dengan reward atau penghargaan. Misalnya ketika anjing menharapkan makanan yang ada i meja, dan kemudian kita berikan potongan daging kepadanya, kemungkinan perilaku mengharapkan makanan ini akan semakin kuat.

ž Hukuman (punishment) memperlemah respons tertentu atau mengurangi kemungkinan respons tesebut muncul di masa datang. Setiap stimulus atau kejadian yang tidak menyenangkan dapat saja menjadi sebuah hukuman. Bila anjing anda menginginkan potongan yang ada di piring Anda, dan Anda menyentil hidungnya dan berteriak “Jangan” maka kemungkinan munculnya perilaku mengharapkan makanan akan berkurang selama Anda tidak merasa bersalah dan kemudian memutuskan memberikan potongan daging tersebut padanya.
Reinforcement dan Hukuman Primer dan Sekunder
ž Reinforcement primer : stimulus yang secara alami memperkuat suatu perilaku, biasanya karena dapat memenuhi kebutuhan fisiologis; contohnya makanan, minuman, cahaya, dan temperatur udara yang nyaman merupakan hal yang secara alamiah memperkuat suatu respons karena mereka menghasilkan pemenuhan kebutuhan biologis kita.
ž Hukuman primer : stimulus yang secara alami memperlemah suatu perilaku; seperti sengatan listrik, rasa sakit, dan panas atau dingin.
ž Reinforcement sekunder : stimulus yang memiliki kemampuan untuk memperkuat perilaku melalui asosiasi dengan reinforcement lainnya. Contoh : uang, pujian, tepuk tangan, nilai yang baik, peghargaan.
ž Hukuman sekunder : stimulus yang memiliki kemampuan untuk memperlemah perilaku karena dibentuk melalui asosiasi dengan hukuman lainnya. Contoh : kritik, cacian, denda, teriakan marah, dan nilai yang buruk.
Reinforcement Positif dan Negatif
ž Reinforcement positif : prosedur memperkuat perilaku dimana respons diikuti oleh penyajian atau peningkatan intensitas stimulus yang memperkuat perilaku; sebagai hasilnya, respons ini semakin kuat dan semakin mungkin terjadi. Contoh : Bila Andi mendapat nilai yang baik setelah belajar yang keras, usaha Andi untuk belajar kemungkinan akan terus di pertahankan atau ditinggalkan.

ž Reinforcement negatif : prosedur memperkuat perilaku di mana respons diikuti oleh penghilangan intensitas sebuah stimulus yang tidak menyenangkan; dan sebagai hasilnya, respons ini menjadi semakin kuat dan semakin mungkin terjadi. Contoh : Bila seseorang mengingatkan Anda terus menerus untuk belajar, dan kemudian ia berhenti menjadi begitu cerewet ketika Anda mengikuti sarannya, kemungkinan Anda untuk terus belajar meningkat karena Anda berusaha menghindari kecerewetan orang tersebut.
Prinsip Operant Conditioning
ž Extenction : melemah kemudian menghilangnya respons yang telah dipelajari; terjadi ketika respons tidak lagi diikuti reinforcement. Contoh : seandainya Anda meletakkan sekeping logam pada sebuah mesin putar dan tidak mendapatkan apapun, Anda kemudian dapat mencoba untuk memasukkan kepingan lainnya, atau bahkan hingga dua keping, tetapi kemudian kemungkinan Anda akan berhenti mencobanya.
ž Generalisasi stimulus : kcenderungan respons, yang telah diberikan reinforcement (atau di beri hukuman), terhadap suatu stimulus, untuk juga muncul (atau ditekan) karena hadirnya stimulus lain yang serupa. Contohnya ; seekor burung dara yang telah dilatih untuk mematuk pada sebuah lingkaran dapat juga mematuk pada benda-benda yang membentuk oval.
ž Diskriminasi stimulus : kecenderungan suatu respons untuk muncul dengan adanya satu stimulus tetapi tidak dengan adanya stimulus lain yang serupa dengan stimulus tersebut pada dimensi tertentu.
ž Continous diskriminatif : stimulus yang memberi tanda apakah respons tertentu selalu diberi reinforcement.
ž Partial reinforcement : jadwal di mana respons tertentu terkadang tapi tidak selalu diberi reinforcement.

Operant Conditioning dalam Kehidupan Nyata
ž Modifikasi perilaku, penerapan prinsip-prinsip kondisioning operant telah digunakan dengan sukses pada beragai situasi, tetapi reinforcement dan hukuman keduanya memiliki kekurangan.
ž Hukuman, ketika digunakan dengan tepat, dapat menekan munculnya perilaku yang tidak diharapkan, termasuk perilaku kriminal. Tetapi sering kali hukuman disalahgunakan, dan dapat saja dengan tidak sengaja memberikan dampak yang tidak diharapkan. Sering kali hukuman diberikan dengan tidak tepat karena dipengeruhi oleh emosi sesaat; hukuman juga dapat menghasilkan kemarahan serta ketakutan; efeknya sering kali hanya bersifat sementara; sangat sulit untuk memberikan hukuman secara langsung ketika sebuah respon muncul; hukuman mengandung sedikit informasi mengenai perilaku yang diharapkan; dan mungkin saja hukuman memberikan perhatian yang menyenangkan.
ž Reinforcement juga dapat disalahgunakan. Penghargaan yang diberikan dengan tidak membedakan, seperti pada usaha untuk meningkatkan harga diri anak, tidak akan memperkuat perilaku yang diharapkan. Seperti yang kita lihat pada penelitian jarak dekat, ketergantungan penuh pada reinforcement ekstinsik terkadang dapat melemahkan kekuatan reinforcement intrinsik. Tetapi uang dan pujian biasanya tidak menggangu kepuasan intrinsik ketika seseorang diberi penghargaan karena berhasil atau mencapai kemajuan dan bukan sekadar karena telah berpartisipasi dalam sebuah aktivitas, atau ketika orang telah sangat tertarik dengan aktivitas tersebut.